Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Hubungan Upacara jamuan Laut Dengan sistem Budaya Masyarakat Malayu Pantai Cermin.

Masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin hidup dengan sederhana dengan bermata pencaharian nelayan di laut dan ada juga yang berladang, akan tetapi kebanyakan yang mencari penghasilan di laut, maka dari Upacara ritual Jamuan Laut sangat besar artinya dalam kehidupan masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin.

Di dalam budaya masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin apabila terjadi sesuatu yang sangat mengganjal atau semacam penyakit yang menyerang satu kampung maka dengan begitu masyarakat akan mengadakan tolak bala, ini berupa upacara untuk mengusir segala jenis penyakit yang ada pada masyarakat tersebut, dan hubungan antara upacara jamuan laut.

masyarakat Melayu Pantai Cermin mata pencaharian mereka adalah di laut , dan terkadang penghasilan yang di cari di laut terasa lambat laun mangkin berkurang, dan juga di rasa laut sudah tidak bisa menghasilkan lagi maka masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin mengadakan upacara jamuan laut agar kekayaan dilaut mangkin berlimpah, dan masyarakat bisa mencari penghasilan di laut.

Salah satu kebudayaan masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin adalah upacara Jamuan Laut karena mereka mempercayai bahwa penunggu laut itu ada dan agar penunggu laut itu tidak akan marah pada mereka maka masyarakat Melayu Serdang di Pantai Cermin membuat sebuah ritual Jamuan Laut agar penunggu laut ( jimbalang laut) tidak marah pada mereka dan juga penghasilan dari laut bertambah banyak.



Sejarah Kerajaan Serdang

Urutan raja yang berkuasa di Serdang adalah sebagai berikut:
1. Tuanku Umar (1723-?).
2. Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817)
3. Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (memerintah 1817-1850) M)
4. Sultan Basyaruddin Shaiful Alamshah (1850-1880)
5. Sultan Sulaiman Syariful Alamshah (1880-1946).

Periode Pemerintahan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946 M. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.

Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815 M). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.

Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817 M, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarshah (memerintah 1817-1850 M) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan Raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.

Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865 M, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907 M, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan kerajaan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kerajaan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.

Struktur Pemerintahan
Struktur tertinggi di Kerajaan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah:
1. Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Serdang.
2. Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
3. Sebagai Kepala Adat Melayu


Sejarah Masyarakat Melayu Pantai Cermin

Luckman Sinar (1986) Sejarah masyarakat Melayu Pantai Cermin sudah termasuk kedalam sejarah kesultanan Serdang karena wilayah Pantai Cermin adalah bagian dari kesultanan Serdang.

Saat Kesultanan Serdang wilayah belum terbagi-bagi seperti saat ini. Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630 M. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.

Sejarah masyarakat Melayu Pantai Cermin sudah termasuk dalam sejarah masyarakat serdang, dikarenakan dahulu kala wilayah Serdang belum terbagi-bagi wilayahnya seperti saat ini, karena pemeritahan zaman dulu pemerintahannya dipimpin oleh seorang Sulltan Deli, dan sekarang dipimpin oleh sebuah pemerintahan. dalam perkembangannya, pada tahun 1723 M terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.

Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari Selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723 M. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.


Nutrition Value of Silage Complete Feed Rice Straw and Mulberry Biomass as Base Material

Afandi. Nutrition Value of  Silage Complete Feed Rice Straw and Mulberry Biomass as Base Material (Syahriani Syahrir as a Supervisor and Rohmiyatul Islamiyati as a Co-Supervisor).

ABSTRACT
This study aims to determine the nutrient content of rice straw and mulberry leaves as complete feed silage base material and soo the right combination. This study was designed according to Completely Randomized Design (CRD). Consists of 6 treatments and 4 replications ie A1: 50% Rice Straw + 50% Concentrate + 0% Biomass  Mulberry, J2: 50% Rice Straw + 40% Concentrate + 10% Biomass  mulberry, J3: 50% Rice Straw + 30% Concentrate + 20% BiomassMulberry, J4: 50% Rice Straw + 20% + Concentrate 30% Biomass  mulberry, J5: 50% Rice Straw + 10% Concentrate + 40% Biomass  Mulberry, J6: 50%  Rice Straw + 0% Concentrate + 50% Biomass mulberry. Analysis of variance showed that the significant effect  (P <0 .05="" and="" ash="" betn="" crude="" fiber="" span="">.But not significantly effect (P> 0.05) on crude protein and crude fat. It was concluded that mulberry leaves can be used for silage feed complete with the right combination in the treatment of J3.

Keywords: mulberry leaves, rice straw, silage complete feed, proximate analysis



. Cortisol Concentrations in Cattle which were Slaughtered by Conventional and Restraining Box Mark IV Methods

FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Cortisol Concentrations in Cattle which were Slaughtered by Conventional and Restraining Box Mark IV Methods. Supervised by HADRI LATIF and CHAERUL BASRI

The aim of this study was to analyze the cortisol concentrations in cattle which were slaughtered by conventional and Restraining Box Mark IV methods without pre-slaughter stunning. Blood samples were taken from Brahman cross steer 15 each groups (n=30) in several abattoirs in West Java and Banten provinces. Blood samples were collected from carotis communis artery 1 minute post-slaughtering. Cortisol concentrations in serum were measured using radioimmunoassay (RIA). The average of cortisol concentrations in cattle which were slaughtered by conventional method is 44.85 ng/ml and cattle which were slaughtered using Restraining Box Mark IV is 24.88 ng/ml. There was significant correlation (p<0 .05="" and="" animal="" appeared="" better="" between="" box="" by="" cattle.="" concentrations="" conventional="" cortisol="" from="" in="" iv="" mark="" method="" methods.="" o:p="" reduce="" restraining="" slaughtering="" stress="" than="" to="" using="" viewpoint.="" was="" welfare="">

Keyword: conventional method, cortisol, radioimmunoassay, Restraining Box Mark IV


The Potential of Papaya Leaf and Inactive ND Vaccine on Increasing the Number of Leukocytes and Rabbit Body Temperature

ANDI KURNIAWAN. The Potential of Papaya Leaf and Inactive ND Vaccine on Increasing the Number of Leukocytes and Rabbit Body Temperature. Supervised by KOEKOEH SANTOSO and ISDONI.

A rabbit immune system consists of a series of molecules, cells and organs that work together to identify, capture and destroy foreign substances that enter its body such as bacteria, fungi, chemicals and viruses. This study aimed to find out the effect of papaya leaf extract on the change in leukocyte number and rabbit body temperature with the use of inactive ND vaccine. There were 30 rabbits involved in the study, and they were divided into 6 groups. So each group consisted of 5 rabbits. Group A was given an extract of papaya leaf in dosage as much as one ml per animal, group B 2 ml per animal, group C 3 ml per animal, group D 4 ml per animal, group E 5 ml per animal and group F was not given any papaya extract (as a control). Each group was given a dose of papaya leaf extract in graded manner and 1 group acted as a control. On the beginning day each group was given according to the dose and the temperature of each rabbit was taken. On the second day each treatment was given inactive ND vaccine as much as1 ml / rabbit, the temperature of each rabbit was taken, and the rabbit blood was checked to count the number of leukocytes. The vaccine was given only on second day. On the fourth day the blood sample was taken to count the number of leukocytes and the temperature of each rabbit was checked. The results showed the giving of papaya leaf and inactive ND vaccine to rabbits are disposed to increase the number of leukocytes and the body temperatures of rabbits.

Key words: Antigen ND, papaya extract, leukocytes, body immune, body temperature


Identification of Estrus Cycle in Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus) by Imaging Vagina Epithelial Observation

NELDA FIZA ZORA. Identification of Estrus Cycle in Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus) by Imaging Vagina Epithelial Observation. Under supervision of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and NASTITI KUSUMORINI.

Common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus) is one of wild animals that can be used as best coffee selector. Physiologic information of this animal is still rare to be found. This information is used to prevent the extinction of palm civet caused by several factors such as disease or increasing the used of luwak for human’s need. The aim of this research was to get the information about total length of estrus cycle and each time of proestrus, estrus, metestrus and diestrus phase of two common palm civet one year old. Information collected could be used for conservation by knowing the right time to be mated. Vaginal swab had been done for 21 days to determine the phase of estrus cycle based on quantitative of vaginal cells and were examined under microscope. Based on observation, average total length of estrus cycle in palm civet was 121,5 ± 7,54 hours. Average cycle of proestrus phase was 12 ± 0,00 hours, estrus phase was 22,5 ± 3,00 hours, metestrus phase was 25,5 ± 3,00 hours and diestrus phase was 61,5 ± 3,00 hours.

Keywords : common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus), estrus cycle


Evaluation of Leukocyte Profile in Piglet (Sus scrofa) during the Recruitment Maneuver on Pediatric Acute Lung Injury Model

HANIFAH ARIEF MUQADDAM. Evaluation of Leukocyte Profile in Piglet (Sus scrofa) during the Recruitment Maneuver on Pediatric Acute Lung Injury Model. Supervised by RIKI SISWANDI and GUNANTI.

This study evaluated the recruitment maneuvers effectiveness in piglet as model for pediatric acute lung injury (PALI). Leukocyte differentiations were observed as parameter. Six piglets in 5-8 kg weight range were divided in two groups. Three piglets as the first group without chest bandaging (A) and three piglets as the second group with chest bandaging (B). Chest bandaging in B group used as model for undeveloped diaphragm in infants. Recruitment maneuver was performed after induced acute lung injury by lavaging warm saline into lung parenchymal. Samples were taken at screening stage and postrecruitment maneuver within 95% confidence level. The results showed non-significant increase of the percentage of neutrophils and non-significant decreases of the total leukocytes, percentage of eosinophils, lymphocytes, and monocytes in both treatment groups. The increase and decrease level was bigger in the chest bandaging group.

Keywords: acute lung injury, leukocyte differentiations, lung recruitment maneuver, piglet (Sus scrofa)


Analisis Risiko

Analisis risiko adalah alat yang menggunakan data, informasi dan pendapat ahli dari berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, termasuk patologi, mikrobiologi, epidemiologi, statistika, kemungkinan permodelan dan ekonomi (Murray et al. 2005). Tujuan dari langkah analisis risiko adalah untuk memperoleh pemahaman risiko atau peluang untuk mengevaluasi informasi dan keputusan terhadap respon yang dibutuhkan.

Badan Kesehatan Hewan Dunia/Office International des Epizooties (OIE) mengadopsi Model Covello-Merkhofer untuk desain analisa risiko. Desain tersebut meliputi identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Penilaian risiko adalah proses mengevaluasi kemungkinan dan konsekuensi biologis dan ekonomi terhadap masuknya, keberadaannya dan menyebarnya bahaya kedalam wilayah negara pengimpor. Penilaian risiko terdiri dari 4 komponen yaitu penilaian pelepasan, penilaian pendedahan, penilaian dampak, dan estimasi risiko (Sugiara dan Murray 2011).

Penilaian risiko dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Penilaian risiko kualitatif tidak memerlukan keterampilan pemodelan matematis untuk pelaksanaannya dan penilaian ini lebih sering digunakan untuk pengambilan keputusan secara rutin (OIE 2013). Penilaian risiko kualitatif menyajikan data dengan alur yang logis dan membantu untuk menyimpulkan risiko menggunakan istilah seperti dapat diabaikan, rendah, sedang atau tinggi tanpa memberikan nilai dalam bentuk angka peluang dan biaya ataupun konsekuensi (EFSA 2006a).


Permasalahan Lalu Lintas Anjing

Lalu lintas perdagangan yang padat menjadi perhatian dalam penyebaran penyakit manusia dan hewan. Tidak terkecuali untuk penyakit rabies. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang menjadi kendala dalam pengendalian rabies. Pada tahun 2008, kasus kejadian wabah rabies di Bali menjadi perhatian dunia. Wabah rabies di Bali berawal dari Sulawesi menyebar ke Pulau Flores melalui nelayan (Windiyaningsih et al. 2004) dan kemudian menyebar ke pulau-pulau disekitar Bali hingga sampai ke Pulau Bali (Putra et al. 2013).

Penelitian mengenai penilaian risiko pemasukan rabies ke Pulau Lombok melalui lalu lintas anjing pernah dilakukan oleh Mustiana (2013). Penelitian tersebut dilakukan dengan pengamatan terhadap jalur pemasukan rabies melalui lalu lintas anjing dan menilai kemungkinan masuk dan terdedahnya rabies pada populasi anjing di Pulau Lombok tahun 2011-2013. Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa hasil kesepakatan pendapat pakar, jalur utama masuknya anjing terinfeksi rabies ke Pulau Lombok adalah melalui kapal dan feri penumpang. Selanjutnya disimpulkan bahwa kemungkinan masuknya rabies melalui pemasukan anjing ke Pulau Lombok melalui jalur kapal dan feri penumpang sangat rendah. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa pada kapal dan feri milik perorangan tidak tertutup kemungkinan membawa anjing penular rabies.


Karakteristik Rabies

Rabies adalah penyakit zoonosa (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh virus. Rabies disebabkan oleh virus yang tidak bersegmen dari grup V (RNA virus), golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus, species Rabies virus. Genus Lyssavirus yang lain selain rabies meliputi virus kelelawar lagos, virus Makola, virus Duvenhage, virus kelelawar Eropa 1 dan 2 serta virus kelelawar Australia (Johnson et al. 2010).

Virus rabies ditularkan dari air liur hewan yang terinfeksi ke hewan lain melalui gigitan. Masa inkubasi dari virus ini bervariasi. Umumnya 3-12 minggu, tetapi dapat terjadi pada beberapa hari sampai beberapa bulan, jarang terjadi melebihi 6 bulan. Bukti dan sejarah kejadian rabies menunjukkan bahwa anjing, kucing, dan musang terjangkit virus beberapa hari sebelum onset klinis dan selama sakit (CDC 2011).

Cara yang paling umum penularan rabies pada manusia adalah melalui air liur pada luka gigitan anjing yang terinfeksi. Rabies adalah infeksi akut yang menyerang susunan saraf pusat (SSP) yang kejadiannya selalu fatal. Setelah virus masuk melalui gigitan, virus akan bereplikasi pada jaringan penghubung dan masuk ke saraf perifer melalui jaringan saraf otot (neuromuskuler) dan kemudian menyebar ke susunanan saraf pusat dalam sel Schwan pada endoneurium (Yousaf et al. 2012).

Gejala klinis pada manusia akibat infeksi rabies, biasanya menunjukkan gejala umum seperti; sakit kepala, nyeri otot, mual atau batuk. Gejala paling awal karena infeksi rabies adalah mati rasa dan/atau kesemutan di lokasi luka disekitar gigitan, diikuti oleh fase agitasi dan kebingungan, diikuti koma, kegagalan pernafasan dan kematian (DEFRA 2011).

Menurut Yousaf et al. (2012) Gejala klinis rabies pada manusia dibagi atas tiga tahap; prodromal, furious dan kelumpuhan (paralytic/dumb). Semua tahapan ini tidak dapat diamati pada satu individu. Gejala klinis yang pertama adalah nyeri neuropatik (neuropatic pain) di tempat infeksi atau luka akibat replikasi virus. Selanjutnya, setelah fase prodromal diikuti fase furious dan paralytic yang dapat teramati pada hewan tertentu. Hal tersebut pernah dilaporkan bahwa pada kucing yang lebih menonjol adalah fase furious dan fase paralytic/dumb daripada pada anjing. Pada beberapa kasus, gejala klinis kadang tidak teramati dan virus rabies diidentifikasi pada hewan yang tiba-tiba mati. Diagnosis laboratorium dilakukan pada sistem saraf pusat, jaringan yang diambil dari kepala. Uji juga dilakukan pada sampel air liur, serum, dan biopsi folikel rambut pada kulit di leher.

Infeksi rabies alami pada hewan menyebabkan penyakit neurologis akut di hampir semua spesies mamalia. Tanda-tanda awal rabies pada hewan tidak spesifik seperti pada manusia, tetapi kedua bentuk klinis rabies dapat diamati pada hewan yang terinfeksi. Pada tipe furious, agresif dan hiperaktif sering teramati pada karnivora dengan terjadinya ensefalitis. Ensefalitis ini juga menyebabkan linglung, halusinasi dan agitasi.

Tipe paralytic, hewan terlihat tertekan atau tidak patuh, kadang-kadang lumpuh pada wajah, tenggorokan dan leher, menyebabkan kelainan ekspresi pada wajah dan tidak mampu untuk menelan. Kelumpuhan berlangsung dengan cepat pada seluruh tubuh diikuti koma dan akhirnya mati

Kedua bentuk klinis diatas dapat terjadi secara bergantian pada hewan yang terinfeksi. Perubahan dramatis dalam perilaku, seperti hewan menjadi lebih liar, hilangnya rasa takut pada manusia, merupakan indikasi dari infeksi rabies. Kematian umumnya terjadi dalam waktu dua minggu dari mulai timbulnya gejala. Namun, pada hewan yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) dan bisa bertahan hidup dapat ditemukan pada berbagai spesies, setelah deteksi antibodi rabies atau virus RNA pada hewan yang tampak sehat. Hewan tersebut adalah luwak, musang, sigung, rakun, anjing, rubah, hiena, serigala, kelelawar pemakan serangga dan pemakan buah (Dacheux et al. 2011).
Key words: dog, rabies, risk assessment


Qualitative Risk Assessment on Introduction of Rabies from Sumatera Island to Kepulauan Riau Province

HANIF FARCHANI. Qualitative Risk Assessment on Introduction of Rabies from Sumatera Island to Kepulauan Riau Province. Supervised by ETIH SUDARNIKA and MIRNAWATI SUDARWANTO.

Rabies is a zoonotic disease caused by virus which could be transmitted from animals to humans. It occurs in more than 150 countries in the world. Rabies is potential to cause death in animals and humans. Kepulauan Riau Province is a rabies-free areas. Nevertheless, this province has a threat to be infected with rabies fom Sumatera Island. Kepulauan Riau Province prohibits the entrance of animal transmitting rabies since Bali had rabies outbreak in 2008.

Qualitative risk assessment on introduction of rabies from Sumatra Island to the Kepulauan Riau Province was conducted to assess the likelihood of entry and spread of rabies, especially in Bintan Island through dogs. The aim of this study was to estimate the likelihood of introduction risk of rabies. The risk assessment was done by following the import risk analysis standards of the OIE (World Organization for Animal Health). The method of risk assessement was refered to Biosecurity Australia. Uncertainty was refered to the European Food Safety Authority (EFSA). The primary data were obtained by direct observation and in-depth interviews with experts (expert opinion) and key informants (quarantine officers, veterinarians, related institutions, dog owners, security officers, the ship captains, and baggage workers). Published or unpublished scientific reports, surveillance results, laboratory test results were used as secondary data.

In the release assessment, it was found that the purpose of dogs entering the island was mostly to be used as pet animals and hunter dogs. The dogs entered the Bintan Island through port point (sea point). The likelihood of release assessment was high. This high likelihood of release assessment involved mainly endemic rabies status of Sumatera Island, a lot of number bite cases‟ reports, low of vaccination coverage, and low of public awarenesss. This release assessment had low uncertainty.

In the exposure assessment, the likelihood of exposure was divided into two ways, i.e., through pet dogs and hunter dogs. The likelihood of exposure in the pet dogs was very low because the dogs were kept restricted in houses or fenced areas and the implementation of dog health management was good. These caused very low contacts (exposures) to humans, susceptible animals, and other dogs. Nevertheless, the likelihood of exposure in hunter dogs was high because of the contacts between the hunter dogs and humans, susceptible animals, and other dogs were high. The hunter dogs were not kept restricted and their health management was less concerned. At the time of hunting, the possibility of interaction or exposures of hunter dogs to humans, other hunter dogs, and wild animals was high. The frequence of hunting increased the spread of rabies.

The consequence assessment involved direct and indirect consequences. The likelihood of consequence assessment was very high. The direct consequence involved death in humans and animals. The indirect consequences included high cost of control and eradication measures. Furthermore, rabies could cause negative impacts on international trade, tourisms, and community.

The risk estimate on the introduction of rabies from Sumatera Island to Kepulauan Riau Province was very high which was the results of release assessment, exposure assessment, and consequence assessment. The uncertainty level was low. In order to reduce the high risk, it was necessary to implement the risk management. The risk management included the issue of entry permit of dogs or rabies transmiting animals into Kepulauan Riau Province which stated that the animals come from free rabies area with the presentation of veterinary health certificate and have been vaccinated against rabies, control of hunting activities by veterinary officers, and increase of public awereness through communication, information, and education on rabies using printed and electronic media.

Key words: dog, rabies, risk assessment



Primary Abnormalities on Spermatozoa Morphology of Simmental and Limousine Bulls at X Artificial Insemination Center in Indonesia

RATNA LOVENTA SULAXONO. Primary Abnormalities on Spermatozoa Morphology of Simmental and Limousine Bulls at X Artificial Insemination Center in Indonesia. Supervised by R IIS ARIFIANTINI.

ABSTRACT
The morphology characteristics of spermatozoa should be properly evaluated to knowledge severals primary abnormality effect on the fertility (major abnormality). This research aims to study the primary spermatozoa abnormality of Simmental and Limousine bulls at X artificial insemination center (AIC) in Indonesia. The study was conducted on period of January to February 2016. The smeared semen sample came from BIB X. The smeares was staining with Williams stain and examined with binocular microscope (400x magnification) in laboratory Unit Rehabilitation of Reproduction, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor. The result showed that the percentage of primary spermatozoa abnormality in Simmental bull was 9.67%, this was higher than in Limousine bull (9.13%). There were seven types (knobbed acrosom defect, tapered head, pyriform head, microcephalic, macrocephalic, nuclear vacuole, and rolled head) of primary spermatozoa abnormality found in Simmental bulls and six types (knobbed acrosom defect, tapered head, pyriform head, microcephalic, macrocephalic, and nuclear vacuole) of primary spermatozoa abnormality found in Limousine bulls. Tapered head was the highes type of primary spermatozoa abnormality found in both bulls. Individually there were 41.17% (7/17) of Simentals bulls and 46.15% (6/13) of Limousine bulls had a primary spermatozoa abnormality more than 10%.
Keywords: Limousine bull, primary abnormality, Simmental bull, spermatozoa


The Quality of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages for Rabbit

The Quality of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages for Rabbit
C. D. Mulia, Nahrowi , and K. B. Satoto

The objectives of this experiment were to evaluate the effect of feeding complete diet containing palm kernel meal mixed with different forages on feed intake, average daily growth (ADG), and feed efficiency of local male New Zealand White rabbit, and also to compare the diet with complete diet containing copra meal. Fifteen rabbits were given randomly one of five treatments i.e. R1 (complete ration contain 5% copra meal and 25% field grass), R2 (complete ration + 5% copra meal + 25% field grass + 5% Leucaena leucochepala), R3 (complete ration + 5% copra meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves), R4 (complete ration + 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% Leucaena leucochepala), R5 (complete ration + 5% palm kernel meal + 25 % field grass + 5% sweet potato leaves). The experiment was conducted for 35 days with the adaptation periods for 7 days. The data from completely randomized design were analyzed by Analysis of Variance, and differences among treatments were examined with Duncan Multiple Range Test. The result showed that feed intake of rabbits fed R1 was significantly (P<0 .05="" and="" at="" average="" better="" but="" complete="" concluded="" containing="" copra="" daily="" diet="" different="" efficiency.="" efficiency="" fed="" feed="" field="" font="" forages="" gain="" grass="" higher="" improving="" in="" is="" it="" kernel="" leaves="" meal="" mixed="" not="" of="" others.="" palm="" potato="" r1.="" r2="" r3="" r4="" r5.="" r5="" rabbit="" rabbits="" significantly="" sweet="" term="" than="" that="" the="" was="" with="">

Keywords : rabbit, complete diet, palm kernel meal, copra meal, forages


Digestibility of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages in Local Male Rabbits

Digestibility of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages in Local Male Rabbits
E. Nurfutiha., L. Khotijah, Nahrowi

The objective of this study was to evaluate dry matter, organic matter, crude protein and fiber digestibilities of complete rations containing palm kernel meal with different sources of forages in 20 local bucks with average body weight 1461,65 + 140,8 g. The study used Completely Randomize Design with five treatments and four replications. The treatments were (R1) complete ration containing 5% copra meal + 30% field grass, (R2) complete ration containing 5% copra meal + 25% field grass + 5% lamtoro leaves, (R3) complete ration containing 5% copra meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves, (R4) complete ration containing 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% lamtoro leaves and (R5) complete ration containing 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were determined by Duncan test. The results showed that treatments influenced nutrient digestibility (P<0 .05="" and="" bis="" bucks="" complete="" containing="" copra="" crude="" digestibilities="" digestibility="" dry="" fiber="" higher="" however="" in="" lamtoro="" leaves.="" leaves="" matter="" meal="" of="" or="" organic="" potato="" protein="" ration="" rations="" receiving="" significantly="" similar="" sweet="" that="" to="" was="" were="" with=""><0 .05="" 40.59="" 48.82="" 78.76="" 78.88="" 79.16="" 79.97="" 8.94="" 80.53="" and="" bis="" bucks="" compared="" complete="" concluded="" containing="" copra="" crude="" diet="" digestibilities="" digestibility="" digestion="" dry="" eating="" fed="" fiber="" forages.="" forages="" in="" is="" it="" kernel="" key="" lamtoro="" leaves.="" leaves="" matter="" meal="" of="" or="" organic="" palm="" potato="" protein="" rabbit="" rabbits="" ration="" rations="" receiving="" respectively.="" respectively="" same="" similiar="" sweet="" that="" the="" there="" to="" was="" were="" whereas="" while="" with="" words:=""><0 .05="" 40.59="" 48.82="" 78.76="" 78.88="" 79.16="" 79.97="" 8.94="" 80.53="" and="" bis="" bucks="" compared="" complete="" concluded="" containing="" copra="" crude="" diet="" digestibilities="" digestibility="" dry="" eating="" fed="" fiber="" font="" forages.="" forages="" higher="" however="" in="" is="" it="" kernel="" lamtoro="" leaves.="" leaves="" matter="" meal="" nbsp="" of="" or="" organic="" palm="" potato="" protein="" rabbit="" rabbits="" ration="" rations="" receiving="" respectively.="" respectively="" same="" significantly="" similar="" similiar="" sweet="" that="" the="" there="" to="" was="" were="" whereas="" while="" with="">
Key words: Complete ration, digestion, palm kernel meal, rabbit,.


Digestibility of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages in Local Male Rabbits

Digestibility of Complete Ration Containing Palm Kernel Meal Mixed with Different Forages in Local Male Rabbits
E. Nurfutiha., L. Khotijah, Nahrowi

The objective of this study was to evaluate dry matter, organic matter, crude protein and fiber digestibilities of complete rations containing palm kernel meal with different sources of forages in 20 local bucks with average body weight 1461,65 + 140,8 g. The study used Completely Randomize Design with five treatments and four replications. The treatments were (R1) complete ration containing 5% copra meal + 30% field grass, (R2) complete ration containing 5% copra meal + 25% field grass + 5% lamtoro leaves, (R3) complete ration containing 5% copra meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves, (R4) complete ration containing 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% lamtoro leaves and (R5) complete ration containing 5% palm kernel meal + 25% field grass + 5% sweet potato leaves. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were determined by Duncan test. The results showed that treatments influenced nutrient digestibility (P<0 .05="" and="" bis="" bucks="" complete="" containing="" copra="" crude="" digestibilities="" digestibility="" dry="" fiber="" higher="" however="" in="" lamtoro="" leaves.="" leaves="" matter="" meal="" of="" or="" organic="" potato="" protein="" ration="" rations="" receiving="" significantly="" similar="" sweet="" that="" to="" was="" were="" with=""><0 .05="" 40.59="" 48.82="" 78.76="" 78.88="" 79.16="" 79.97="" 8.94="" 80.53="" and="" bis="" bucks="" compared="" complete="" concluded="" containing="" copra="" crude="" diet="" digestibilities="" digestibility="" digestion="" dry="" eating="" fed="" fiber="" forages.="" forages="" in="" is="" it="" kernel="" key="" lamtoro="" leaves.="" leaves="" matter="" meal="" of="" or="" organic="" palm="" potato="" protein="" rabbit="" rabbits="" ration="" rations="" receiving="" respectively.="" respectively="" same="" similiar="" sweet="" that="" the="" there="" to="" was="" were="" whereas="" while="" with="" words:=""><0 .05="" 40.59="" 48.82="" 78.76="" 78.88="" 79.16="" 79.97="" 8.94="" 80.53="" and="" bis="" bucks="" compared="" complete="" concluded="" containing="" copra="" crude="" diet="" digestibilities="" digestibility="" digestion="" dry="" eating="" fed="" fiber="" font="" forages.="" forages="" higher="" however="" in="" is="" it="" kernel="" key="" lamtoro="" leaves.="" leaves="" matter="" meal="" of="" or="" organic="" palm="" potato="" protein="" rabbit="" rabbits="" ration="" rations="" receiving="" respectively.="" respectively="" same="" significantly="" similar="" similiar="" sweet="" that="" the="" there="" to="" was="" were="" whereas="" while="" with="" words:="">


Occurance of Salmonella spp. in Layer and Duck Eggs Sold in Wet Markets of West Java Province

NURRY WULAN OKTAVERA. Occurance of Salmonella spp. in Layer and Duck Eggs Sold in Wet Markets of West Java Province. Under direction of HADRI LATIF and AGATHA WINNY SANJAYA

This study was aimed to observe the occurance of Salmonella spp. in layer and duck eggs, and gave information of wet markets sanitation and hygiene in traditional markets of West Java Province. The study consist of two parts, field questionnaires and laboratory work. Data questionnaires was obtained from 35 egg retailers in West Java. Detection of Salmonella consisted of layer eggs (n=25) and duck eggs (n=10) were taken purposively from wet markets and determineted according to the Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. The result showed that the occurance of Salmonella in layer and duck eggs were 4% and 0%, respectively.
Keywords: Salmonella spp., layer eggs, duck eggs, wet markets


Physical Chemical dan Organolepic Characteristic of Beef Meatball with Aditional of Porang Flour (Amorpophallus oncophyllus)

RAYIS USMAN. Physical Chemical dan Organolepic Characteristic of Beef Meatball with Aditional of Porang Flour (Amorpophallus oncophyllus). Supervised by IRMA ISNAFIA ARIEF dan EDIT LESA ADITIA

The purpose of this research was find out the chemical, physical properties, and the organoleptic of meatball with addition of different concentration of porang flour (0%, 1%, and 2%). The result showed that 1% and 2% addition of porang flour have pH value less than control (P<0 .05="" 1.67="" 1="" 2="" 3.72="" 5.72="" 5.86="" addition="" agent="" along="" and="" as="" ash="" attributes="" average="" based="" be="" but="" can="" cannot="" carbohydrate="" chemical="" color="" concentration="" concluded="" content="" control="" dietary="" different="" effect="" elasticity.="" elasticy="" fat="" favored.="" fiber="" flavor="" flour.="" flour="" font="" for="" function="" general="" hedonic="" in="" increased="" is="" it="" less="" levels="" meaball="" meatball="" no="" of="" on="" other="" ph="" physical="" porang="" properties="" protein="" quality="" replace="" respectively="" results="" showed="" side="" significant="" springness="" stpp="" test="" texture="" than="" that="" the="" value="" water="" with="">

Key words : meatball, porang flour, STPP


Teknologi Pakan Berbentuk Pelet

Ransum bentuk pelet dapat meningkatkan konsumsi pakan ternak, mengurangi jumlah pakan yang terbuang, membuat pakan lebih homogen, dapat memusnahkan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan, memperpanjang penyimpanan, mempermudah pengangkutan dan menjamin keseimbangan zat nutrisi pakan yang terkandung dalam komposisi pakan (Suryanagara, 2006).

Proses pembuatan pelet dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: 1) pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan, dan penggilingan, 2) pembuatan pelet meliputi pencetakan, pendinginan, dan pengeringan, dan 3) perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan dan penggudangan. Tujuan pembuatan pakan dalam bentuk pelet adalah untuk meringkas volume bahan, sehingga mudah dalam proses pemindahan, dan menurunkan biaya pengangkutan (Tjokroadikoesoemo, 1986).


Ragi Tape

Ragi merupakan organisme fakultatif yang mempunyai kemampuan menghasilkan energi dari senyawa organik dalam kondisi aerob maupun anaerob sehingga ragi dapat tumbuh dalam kondisi ekologi yang berbeda (Winarno, 2004). Jenis ragi yang umum dikenal yaitu ragi tape dan ragi tempe.

Ragi tape berwujud padat dengan bentuk bulat pipih berwarna putih, sedangkan ragi tempe berbentuk bubuk. Ragi tape terdiri mikroba bibit atau disebut juga starter untuk membuat berbagai macam makanan fermentasi, seperti tape ketan atau singkong, tape ubi jalar, brem cair atau padat dan lainnya (Hidayat dkk, 2006).

Probiotik merupakan produk yang mengandung mikroorganisme hidup dan nonpatogen, yang diberikan pada hewan ternak untuk memperbaiki laju pertumbuhan, menstabilkan produksi pada ternak, efisiensi konversi ransum, meningkatkan penyerapan nutrisi, kesehatan hewan, menambah nafsu makan sehingga mempercepat peningkatan berat badan (Fuller, 1992). Menurut Soeharsono (2010) mikrobia yang digunakan sebagai probiotik adalah bakteri, khamir atau ragi, mould. Ahmad (2006) menyatakan bahwa probiotik merupakan salah satu pendekatan yang memiliki potensi dalam mengurangi infeksi unggas dan kontaminasi produk unggas Ragi tape terdiri dari kapang (Rhizopus oryzae, Mucor), khamir (Sacharomyces cerevisiae, Sacharomyces verdomanni, Candida utilis) dan bakteri (Pediococcus sp.dan Bacillus sp.) (Gandjar, 2003).

Mekanisme kerja bakteri Saccharomyces cerevisiae pada prinsipnya seperti probiotik lainnya yakni secara ferementatif dengan mula-mula mensekresikan enzim α-galaktosidasedan β-glukosidase mengelilingi/menyerang ikatan senyawa sakarida untuk menguraikan senyawa oligosakarida (vebraskosa, sciosa dan rafinosa) menjadi gula-gula sederhana (di dan mono sakarida) dan kemungkinan melepaskan zat-zat nutrisi yang terbungkus/terikat oleh senyawa sakarida sehingga terbuka bagi enzim pencernaan (Ly, 2011).

Hasil penelitian Tang et al., (2008) membuktikan bahwa suplementasi Saccharomyces cerevisiae meningkatkan laju kecernaan serat, meningkatkan degradasi protein kasar dan NDF dan efisiensi mikrobial. Pemakaian Saccharomyces cerevisiae dalam fermentasi kulit nanas diduga pula dapat meningkatkan kecernaan bahan kering (Wikanastri, 2012). Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroba proteolitik yang mampu memecah protein dan komponen-komponen nitrogen lainnya menjadi asam amino (Winarno, 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati et al. (2013), memperoleh bahwa kadar protein meningkat selama proses fermentasi oleh ragi tape yaitu dari 3,99% menjadi 4,95% yang disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme optimal melakukan pemecahan karbohidrat pada kulit singkong.


Fermentasi Bahan Pangan

Fermentasi bahan pangan adalah sebagai hasil kegiatan beberapa jenis mikroorganisme baik bakteri, khamir, dan kapang. Mikroorganisme yang memfermentasi bahan pangan dapat menghasilkan perubahan yang menguntungkan (produk-produk fermentasi yang diinginkan) dan perubahan yang merugikan (kerusakan bahan pangan). Dari mikroorganisme yang memfermentasi bahan pangan, yang paling penting adalah bakteri pembentuk asam laktat, asam asetat, dan beberapa jenis khamir penghasil alkohol (Suprihatin, 2010).

Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia dan efisien penggunaannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah tersedia dan mudah didapat, sifat fermentasi, harga dan faktor harga (Suprihatin, 2010).

Aspergillus niger

Aspergilus niger adalah kapang anggota genus Arpergillus, family Eurotiaceae, ordo Eutiales, subclass Plectomycetetidae, kelas ascomycetes, subdivisi ascomycotina dan divisi amastigmycota. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam medium. Aspergillus niger menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler seperti amylase, amiloglukosidase, pektinase, selulase, katalase dan glukosidase (Hardjo, et al., 1989). Lehninger (1991) menambahkan Aspergillus niger menghasilkan enzim urease yang memecahkan urea menjadi asam amino dan CO2 yang selanjutnya digunakan untuk pembentuk asam amino.

Aspergillus niger bersifat aerob, sehingga membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Temperatur optimum bagi pertumbuhannya adalah antara 350C – 370C. Kisaran pH antara 2,0-8,5 dengan pH optimum antara 5,0-0,7 dan membutuhkan kadar air media antara 65-70%. Aspergillus niger mempunyai cirri yaitu berupa benang-benang tunggal yang disebut hifa berupa kumpulan benang-benang padat menjadi suatu bahan yang disebut miselium, tidak mempunyai klorofil dan hidupnya heterotrof serta berkembang biak secara vegetative dan generative (Fardiaz, 1989).

Penelitian yang dilakukan oleh Susyawati et al., (2014), memperoleh hasil bahwa kadar protein meningkat selama proses fermentasi oleh Aspergillus niger. Hal tersebut berarti bahwa selama proses fermentasi berlangsung, Aspergillus niger melakukan biosintesis protein. Untuk melakukan proses biosintesis protein, Aspergillus niger memerlukan sumber karbon sebagai komponen utama pembentuk protein. Unsur karbon diperoleh Aspergillus niger dari substrat fermentasi. Selama proses fermentasi berlangsung, Aspergillus niger memproduksi enzim ekstraseluler yang dihasilkan di dalam sel dan dikeluarkan dari sel ke medium fermentasi untuk menghidrolisis dan mendegradasi komponen kompleks substrat menjadi senyawa yang lebih sederhana. Aspergillus niger memproduksi enzim amilase yang berfungsi untuk menghidrolisis pati yang terdapat dalam substrat fermentasi.

Semakin tinggi populasi Aspergillus niger akan menghasilkan besaran enzim selulase yang semakin tinggi pula sehingga kuantitas serat kasar yang dirombak oleh enzim selulase semakin tinggi (Laskin dan Hubert, 1973). Enzim selulase yang akan mengubah serat kasar (selulosa) menjadi molekul yang lebih sederhana sehingga tidak lagi sebagai polisakarida (Wardani, 2014).
Enzim selulase termasuk sistem multienzim yang terdiri dari tiga komponen yaitu endoglukanase, yang mengurai polimer selulosa secara random untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi, eksoglukanase yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non-pereduksi untuk menghasilkan selulosa ikatan pendek atau selobiosa, dan β-glukosidase yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Ikram et al., 2005).


Sistem Pencernaan Kelinci

Kelinci merupakan ternak pseudo-ruminant yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar secara baik. Sistem pencernaan kelinci yang sederhana dengan caecum dan usus yang besar seperti yang terlihat pada gambar 4, memungkinkan kelinci untuk memakan dan memanfaatkan bahan-bahan hijauan, rumput, dan sejenisnya. Bahan-bahan itu dicerna oleh bakteri disaluran cerna bagian bawah seperti yang terjadi pada saluran cerna kuda. Kelinci memfermentasikan pakan di usus belakangnya. Fermentasi hanya terjadi terjadi di caecum (bagian pertama usus besar), kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasistas saluran pencernaannya, Sarwono (2007). Kemampuan kelinci mencerna serat kasar dan lemak bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu.

Tidak seperti halnya hewan mamalia yang lain, kelinci mempunyai kebiasaan memakan feses yang sudah dikeluarkan. Sifat ini disebut coprophagy. Keadaan ini sangat umum terjadi pada kelinci dan hal ini terjadi berdasar pada konstruksi saluran pencernaannya. Sifat coprophagy biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Feses yang berwarna hijau muda dan konsistensi lembek itu dimakan lagi oleh kelinci. Feses yang dikeluarkan pada siang hari dan telah berwarna coklat serta mengeras, tidak dimakan. Hal ini memungkinkan kelinci itu memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecahkan selulose atau serat menjadi energi yang berguna. Jadi sifat coprophagy sebenarnya memang menguntungkan bagi proses pencernaan (Blakely and bade, 1998).

Sekitar umur tiga minggu kelinci mulai mencerna kembali kotoran lunaknya, langsung dari anus (proses ini disebut caecotrophy) tanpa pengunyahan. Kotoran lunak itu terdiri atas konsentrat bakteri yang dibungkus oleh mokus. Walaupun memiliki caecum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organic dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia murni. Daya cerna kelinci dalam mengonsumsi hijauan daun mungkin hanya 10%. Kemampuan kelinci mencerna serat kasar dan lemak makin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu (Sarwono, 2007).


Kebutuhan Nutrisi Ternak Kelinci

Kandungan nutrisi yang terkandung didalam pakan kelinci yakni sebagai berikut: air (maksimal 12%), protein (12-18%), lemak (maksimal 4%), serat kasar (maksimal 14%), kalsium (1,36%), fosfor (0,7-0,9%) seperti yang tertera pada Tabel 4 di bawah ini. Pakan kelinci bisa berupa pelet dan hijauan. Kelinci yang dipelihara secara ekstensif, porsi pakan hijauan bisa mencapai 60-80% dan sisanya menggunakan hijauan sebesar 40% (Masanto dan Agus, 2010).

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi kelinci.
Nutrient
Kebutuhan Nutrisi kelinci
Pertumbuhan
Hidup pokok
Bunting
Laktasi

Digestible Energy
(kcal/kg)
2500
2100
2500
2500

TDN
65
55
58
70

Serat kasar (%)
10-12
14
10-12
10-12

Protein Kasar (%)
16
12
15
17

Lemak (%)
2
2
2
2

Ca (%)
0,45
-
0,40
0,75

P (%)
0,55
-
-
0,5

Metiomin+ Cytine
0,6
-
-
0,6

Lysin
0,65
-
-
0,75

Sumber: NRC(1977)

Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan ditentukanberdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi bergantung pada periode pemeliharaan dan dan bobot badan kelinci


Back To Top