Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Reklamasi Panati Losari, Makasar

Tipe reklamasi yang dijalankan di daerah ini adalah reklamasi darat (pesisir). Pemanfaatan lahan reklamasi pantai atau penimbunan laut terjadi di pesisir kota Makassar mulai gencar dilakukan sejak awal tahun 2000-an. Namun berjalan lambat karena adanya pro kontra reklamasi. Pemkot Makassar juga membuat master plan rencana reklamasi kawasan strategis bisnis global terpadu Makassar yang pada akhirnya direspon oleh Pemprov dengan membuat rencana pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI). Koordinasi Advokasi Kopel Indonesia, Musaddaq dikutip media menyebutkan, proyek CPI tanpa perencanaan di RPJMD 2008-2013. Anggaran yang digunakan bukan dari APBN, namun menggunakan APBD. Proyek tersebut belum direstui pemerintah pusat, karena tidak melalui mekanisme persetujuan legislatif karena menimbun laut seluas 1.466,10 hektar.

Reklamasi Teluk Benoa Bali

Perusahaan pengembang reklamasi Benoa adalah PT Tirta Wahana Bali Indonesia. Tipe reklamasi ini adalah reklamasi darat dengan anggaran Rp. 30 triliun. Alasan dicanangkannya reklamasi Benoa adalah kerusakan alam yang terjadi di kawasan ini.

1. Teluk Benoa menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan sedimentasi yang sudah sangat tinggi dan perubahan bentang alam.

2. Terjadi penyumbatan di daerah hilir DAS (daerah aliran sungai) sekitar Teluk Benoa.

3. Teluk Benoa sudah tidak lagi produktif karena keadaan teluk yang rusak parah. Hal ini diakibatkan endapan limestones bekas jalan tol yang tidak diangkat. Serta rembesan minyak dan oli dari kapal di pelabuhan Benoa yang terjadi setiap saat tanpa ada yang mengawasi. Terjadi pendangkalan yang amat sangat, dan sedimentasi sudah hampir menyentuh pesisir mangrove. Endapan lumpur rata-rata mencapai 16 meter.

4. Terjadi luberan sampah di mana-mana akibat sumbatan DAS.

5. Sudah tidak ada lagi biota laut, seperti ikan, kerang, udang dan lainnya yang bisa ditangkap nelayan di teluk saat lautsurut.

Namun, sumber lain mengemukakan bahwa Teluk Benoa memiliki ekosistem Teluk Benoa terdiri dari dua ekosistem besar yakni ekosistem mangrove dan ekosistem Padang Lamun. Ekosistem ini merupakan ekosistem terbesar di tanah Bali. Adanya pendapat yang berbeda mengenai kondisi Teluk Benoa saat ini selayaknya harus segera mendapatkan hasil pengkajian yang komprehensif. Reklamasi Benoa dilakukan hanya karena kondisi teluk yang sudah rusak dan harus segera diperbaiki. Beberapa tujuan reklamasi Benoa adalah sebagai berikut.

a. Kawasan nelayan dan pertokoan tepi laut.
b. Kawasan hunian dan hotel mangrove eco chalet.
c. Kawasan olahraga air dan waterfront.
d. Kawasan taman botanical.
e. Pulau Pudut, kawasan kultur dan pura.

f. Kawasan pusat belanja.

Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Kawasan pantai utara Jakarta direncanakan untuk melalui proses reklamasi darat. Lahan yang akan direklamasi mencakup 17 pulau. Beberapa perusahaan pengembang dalam proyek ini meliputi PT Muara Wisesa Samudera, PT Pelindo, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Ekapaksi, PT Kapuk Niaga Indah dengan total anggaran Rp. 83 triliun. Dua perusahaan pengembang yang sudah mendapatkan izin pada era kepemimpinan Fauzi Bowo adalah PT Muara Wisesa Samudera yang merupakan anak perusahaan dari Agung Podomoro Group, dan PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.

Tujuan pembangunan setiap pulau memilik fungsi berbeda, beberapa di antaranya yaitu.
1. Kawasan pertokoan tepi laut.
2. Kawasan outdoor dengan background tematik.
3. Kawasan taman burung (pengetahuan dan wisata).
4. Kawasan olahraga terbuka dengan standar internasional.
5. Kawasan olahraga air dan wisata pantai.
6. Kompleks olahraga, rumah sakit pusat dan pengembangan olahraga internasional.
7. Kawasan industri, perdagangan dna logistik.
8. Kawasan lembaga jasa dan keuangan.
9. Kawasan hunian, hotel, dan pusat belanja


Hingga saat ini reklamasi Jakarta masih menuai pro kontra dari Pemprov Jakarta, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil di kementerian itu, Sudirman Saad mengatakan izin reklamasi itu bukan merupakan kewenangan kepala daerah, namun oleh Kementerian Kelautan. Reklamasi yang akan dilakukan pada 17 pulau belum pernah ada izin dari Kementerian.

Defenisi Reklamasi

Reklamasi secara awam dapat diartikan hanya sebatas penimbunan daerah perairan atau bibir pantai guna memperluas wilayah daratan untuk berbagai peruntukan. Berdasakan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bahwa Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

26 Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 ini lahir atas perintah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014. Maka dengan lahirnya Perpres 122/2012 memperjelas pengaturan terkait dengan reklamasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dimana telah banyak terjadi persoalan pro dan kontra dalam beberapa pelaksanaan reklamasi di tanah air baik sebelum maupun sesudah lahirnya Perpres 122/2012 tersebut.

26 Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012

Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang memberikan defenisi mengenai reklamasi telah memberikan keseragaman defenisi diantaranya oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 28/PERMEN-KP/2014.

Secara etimologi sendiri istilah reklamasi merupakan turunan dari istilah Inggris reclamation yang berasal dari kata kerja reclaim yang berarti mengambil kembali, dengan penekanan pada kata “kembali”. Di dalam teknik pembangunan, istilah reclaim juga dipergunakan di dalam misalkan me-reclaim bahan dari bekas bangunan atau dan puing-puing, seperti batu dan kerikil dan bekas konstruksi jalan, atau kerikil dari puing beton untuk dapat digunakan lagi. Dalam teknik sipil atau teknik tanah, istilah reclaim atau reklamasi juga dipakai di dalam mengusahakan agar suatu lahan yang tidak berguna atau kurang berguna menjadi berguna kembali atau lebih berguna. Sampai berapa jauh tingkat kegunaan ini bergantung dari sasaran yang ingin dicapai. Di dalam pembangunan penghunian dan perkotaan adakalanya daerah-daerah genangan dikeringkan untuk kemudian dimanfaatkan. Bahkan wilayah laut pun dapat dijadikan daratan.

Selanjutnya beberapa kajian mengenai bahasa, kata reklamasi memiliki berbagai defenisi yang tertulis di dalam beberapa kamus dimana penulis mengutip antara lain :
1. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Reklamasi yaitu 1. sanggahan dengan nada yang keras; 2. usaha memperluas pertanian dengan memanfaatkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak bermanfaat misal (dengan cara menguruk daerah rawa-rawa) sehingga bermanfaat;28

2. Berdasarkan Kamus Hukum (Cetakan Ke-5, Sudarsono) Reklamasi yaitu 1. suatu sanggahan atau bantahan yang disampaikan dengan nada keras; 2. usaha memperluas tanah pertanian dengan menggunakan daerah atau wilayah (areal) yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat seperti daerah rawa-rawa atau sebagainya.29

3. Berdasarkan Cambridge Advance Learner’s Dictionary diberikan keterangan mengenai reklamasi sebagai mana dikutip oleh F.Kalalo, yaitu percobaan untuk membuat tanah layak untuk bangunan atau pertanian dan pengolahan bahan-bahan sisa untuk memperoleh bahan-bahan berguna darinya.30

28 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm. 1188.
29 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2007, hlm.401.

30 F.Kalalo, Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut Serta Implikasinya pada Status Hukum Tanah dan Hak Masyarakat Pesisir disampaikan pada Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Manado, 26-29 Agustus 2006 Hal.1096

Tinjauan Umum Skala Usaha Ternak Sapi

Usaha peternakan khususnya di Indonesia masih dikelola secara taradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau sebagai usaha sampingan. Menurut Soehaji ( Saragih:2000 ), tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, dan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri ( subsistence ), dengan tingkat pendapatan usaha ternak kurang dari 30%.
2. Peternakan sebagai cabang usaha, dimana peteni peternak mengusahakan pertanian campuran ( mixed forming ) dengan ternak sebagai cabang usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70% (semi komersial atau usaha terpadu)
3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternakan mengusahakan ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha sambilan ( single komodity), dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70- 100%.
4. Peternakan sebagai usaha sendiri, dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha ternak 100% ( komoditi pilihan).

Ternak sapi merupakan jenis usaha yang dilakukan dalam sekala besar khususnya di Indonesia. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih luas dan bernilai ekonomis tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainnya. Usaha ternak sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang pertumbuhan usahanya. Hal ini bisa di buktikan dengan perkembangan usaha peternakan sapi yang ada di Indonesia jauh lebih maju jika dibandingkan dengan ternak lain, seperti kerbau, babi, domba dan kambing. Peternakan sapi yang ada di Indonesia semuanya adalah peternakan rakyat atau keluarga yang merupakan usaha sambilan dan cabang usaha, yang belum bisa memenuhi permintaan daging berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengelolaannya yang masih sangat tradisional.

Usaha ini belum dilakukan sebagai mata pencaharian utama, sehingga tidak di kelola sebagai penghasil daging. Keadaan industri peternakan seperti ini mempengaruhi kualitas daging yang di hasilkan dan pada gilirannya berpengaruh dengan terhadap harga yang terbentuk. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap mutu/kualitas daging yang dibelinya.

Selera konsumen daging terhadap marbling (perlemakan), warna dan keempukan, belum begitu tinggi (Azis dalam Bidiarti, 2000). Menurut ( Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 ), setidaknya ada tiga tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar.

Purawirokusumo (1990) menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.
2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial, bibit unggul,dan lain-lain.
3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsipprinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.


Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil

Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi hasil. Menurut Scheltema (1985) menyatakan: “Bagi hasil semata-mata hanya merupakan bagi usaha pada kegiatan pertanian, yang dalam pelaksanaan priode usaha seluruh pekerjaan di laksanakan oleh penggarap atau di bawah pimpinanya. Bagi usaha yang di maksud dalam hal ini adalah suatu perjanjian kerja dengan upah khusus”.
                          
Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal komunitas yang berada di lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan: “Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari :
(a) Modal Manusia ( human capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainnya;
(b) modal sumberdaya alam ( natural capital) seperti perairan laut;
(c) Modal Ekonomi Produktif ( produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan ( trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.

Sedangkan Mosher dalam Tarigan (1996), Menyatkan: “Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.

Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut penggaduh ( peternak penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak (Muhzi 1984).

Menurut (Sajogyo dalam Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983 menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992) menyatakan bahwa dalam satu komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam, misalnya besarnya berkisar antara 1/4 , 1/3 , ½, 2/3  dari nilai pertambahan bobot badan.

selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995), ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar 2 dari pertumbuhan bobot 3 badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar 1 dari 2 pertambahan nilai modal usaha. Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan:
“Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini juga terdapat banyak variasi”.

Muhzi (1985) menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu. Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima sebab usaha ekstensifikasi pada daerah tertentu sudah tidak memungkinkan. Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik untuk bibitan maupun untuk digemukkan ( Simatupang 1993).


Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktorfaktor sosial ekonomi (fisik dan non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi tenaga kerja peternak oleh para pemilik modal (Lole,1995).

Interaksi Sosial

Menurut Gillin dan Soeharjo Seokamto ( 2007: 55-56): “Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompokkelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu misalnya mulai dari menegur, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan mungkian berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentukbentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut saling berbicara atau saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebutkan perubahan-perubahandalam perasaan maupun syaraf orangorang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dll.Semua itu menimbulakan kesan didalam pikiran seseorang, yang kemudian, menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekamto)”.

Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial dalam satu komunitas. Interkasi terjadi dua orang atau kelompok saling bertanya atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunitas terjadi diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dalam komunitas merupakan syarat mutlak dalam proses interaksi sosial, sehingga tanpa kedua unsur ini sangatlah mustahil jika interaksi dapat terjadi dengan baik. Interaksi sosial dimaksud sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam usaha untuk mencapai tujuannya (Abu Ahmadi 2007:10).

Menurut Soleman B.Taneko ada beberapa bentuk interaksi sosial yang terdiri dari :
1. Kerjasama Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu tujuan bersama. Proses terjadinya kerjasama lahir apabila diantara individu dan kelompok yang bertujuan memiliki satu tujuan yang sama yang ingin mereka capai. Begitu pula apabila individu atau kelompok merasa adanya ancaman dan bahaya dari luar, maka proses kerjasama ini akan bertambah kuat diantara mereka.

2. Persaingan Persaingan adalah proses sosial, dimana individu atau kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik dan dengan mempertajam prasangka yang telah ada namun tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

3. Konflik Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok menyadari perbedaan-perbadaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsurunsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian dimana pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.

4. Perdamaian Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna, pertama adalah proses sosial yang menunjukan pada suatu keadaan yang seimbang dalam interaksi sosial dan antar kelompok didalam masyarakat, terutama yang ada hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Kedua adalah suatu proses yang sedang berlangsung dimana akomodasi menampakkan suatu proses untuk merendahkan suatu pertentangan yang terjadi didalam masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu, kelompok dan masyarakat maupun dengan norma dan nilai yang ada dimasyarakat.


Soehaji Soekamto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk umum dari interaksi sosial , yaitu asosiatif dan disosiatif ( Soleman B.Taneko 1984:115): “Suatu interaksi sosial yang asosiatif merupakan proses yang menunjukan pada suatu kerjasama, sedangkan bentuk interaksi disosiatif dapat di artikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.

Modal Sosial

Modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial sebagai jaringanjaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang dapat berkoordinasi dan bekerjasama dalam mencapai suatu keuntungan bersama seperti yang dilakukan dalam usaha peternakan sapi. Modal sosial merupakan suatu dimensi budaya dari kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu bidang ekonomi masyarakat lemah. Konsep modal sosial menjadi salah satu komponen penting untuk menunjang model pembangunan manusia. Karena dalam modal ini, manusia ditempatkan sebagai subjek penting yang menentukan arah penyelenggaraan pembangunan (fukuyama 1995).

Fukuyama (1995) menilai modal sosial dibentuk dan ditranmisikan melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan historis. Mekanisme kultural tersebut membentuk nilai-nilai bersama dalam menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Analisi modal sosial dapat mengacu pada komponen-komponen modal sosial antara lain komponen mekanisme kultural, saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki bersama dan jaringan sosial yang ada. Sehingga dalam sistem gaduh sapi kebanyakan pemilik sapi dan pemelihara sapi adalah kerabat dekat, keluarga, dan tetangga yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih dalam dan lebih mengikat antara yang satu dengan lainnya.

Keberadaan modal sosial ini digunakan dan dimanfaatkan dalam menunjang ekonomi peternak yang tergolong rendah, dan perluasan akses sumber-sumber peluang bisnis usaha penggaduhan sapi dalam melakukan hubungan kepada para pemilik sapi yang ingin menggaduhkan sapi yang mereka miliki. Dengan cara tersedianya jaringan-jaringan sosial yang akan muncul diikuti dengan norma-norma serta nilai-nilai yang akan berlaku dalam proses pemeliharaan sapi yang dimiliki oleh para pemilik sapi . Serta dapat menjunjung tinggi tingkat kepercayaan yang semakin erat antara pemilik sapi dan pemelihara sapi ( penggaduh sapi) yang pada akhirnya menuju pada masyarakat sejahtera pada tingkat perekonomian peternak.

Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur kualitas hubungan dalm komunitas, organisasi, dan masyarakat. Ada beberapa tokoh yang berperan dalam memeperkenalkan konsep modal sosial dalam karya-karya mereka seperti Putnam, Bourdieu, Coleman dan Sabatini 2005.

Menurut Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan: “modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial seperti trust, norma, jaringan sosial, yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun secara berkelompok”.

Sependapat dengan Putnam , Bourdieu (1998) menyatakan: “bahwa modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat didalamnya”.

Dari defenisi di atas ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam memahami modal sosial yaitu pertama: sumber daya yang saling dimiliki seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung pada kemampuan orang tersebut memobilitasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar kelompoknya. Kedua, kualitas hubungan antara aktor lebih penting dari pada hubungan dalam kelompok. Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih keuntungan. Coleman melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial berdasarkan fungsinya.

Menurutnya : “Modal sosial mencakup dua hal dasar yaitu modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut”.

Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antar teman sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien. Empat unsur utama dalam modal sosial adalah trust ( kepercayaan ), norms ( norma ), network (jejaring), reciprocity ( hubungan timbal balik).

1. Trust (kepercayaan) merupakan komponen penting dari adanya masyarakat. Trust dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial kooperatif ang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial. Fukuyama (2002) menyatakan: “trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilakukoperatif yang muncul dari dalam diri sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas tersebut”.

2. Unsur terpenting kedua dari modal sosial adalah reciprocity ( hubungan timbal balik ) yang merupakan tindakan bersama yang ditujukan dengan saling memberi respon. Reciprocity dapat dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima, saling membantu, yang dapat muncul dari interaksi sosial ( Soetomo, 2006:87 ).

3. Unsur yang ketiga adalah seperangkat norma dan tata nilai dalam bertindak. Norma merupakan satu identitas khusus yang mampu membentuk modal sosial ( social capital ). Norma merupakan pedoman berprilaku bagi antar individu dan apa yang mesti mereka lakukan . Selain itu, norma merupakan sebuah alat penjaga keutuhan eksistensi masyarakt tertentu. Suatu masyarakat akan disebut eksistensinya tinggi jika mereka memiliki norma yang berlaku dan disepakati bersama. Apabila tidak ada maka tidak ada masyarakat melainkan hanya sekumpulan benda. Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dibanggakan, dijunjung tinggi dan ingin diperoleh manusia dalam hidupnya yang dapat berkembang sewaktu-waktu ( Prof.Dr.Notonegoro ).

4. Unsur yang terkahir adalah network atau jaringan sosial yang merupakan hubungan diantara para pelaku anggota masyarakat atau organisasi sosial. Jaringan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisadibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan geneologis, dan lain-lain. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut ( Pratikno dkk:8 ).

Keempat unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam berbagai bentuk kehidupan dengan menggunakan konsep modal sosial seperti yang dinyatakan oleh ( Soetomo,2006:90 ): “Dalam pandangannya modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural, dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan”.

Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai, sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentukbentuk aktualisasi modal dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutanya dikembangkan dalam usaha pengingkatan taraf hidup dan kesejahteraan.

Komponen modal sosial tersebut menjelaskan, pada level nilai, kultur, kepercayaan dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa kewajiban, rasa percaya, resiprositas,dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa berbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan. Pada level mekanisme, modal sosial berbentuk kerjasama, tingkah laku, sinergi antara kelompok. Tampak jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontrobusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Sortomo 2006).




Production Performance of Local Rabbit Fed with Commercial Feed and Substituted with Bean Sprouts’ Waste

IRINE FATKHATUL ZULFA. Production Performance of Local Rabbit Fed with Commercial Feed and Substituted with Bean Sprouts’ Waste. Supervised by MUHAMAD BAIHAQI and MOHAMAD YAMIN.

Rabbit (Orictolagus cuniculus) is small livestock animal that has great potential as meat-producer for its prolific characteristic, rapid growth rate and capability to eat agricultural waste. Bean sprouts wastes were from market that can still be used as feed source for its nutrition content. The aim of this research was to study production performance of local rabbit fed with bean sprouts’ waste. Twelve local rabbit fryers age 12 weeks with average body weight of 747±104.53 g used in this study. There were three treatments that consisted of 100% commercial feed as control treatment (P0); 30% bean sprouts’ waste and 70% commercial feed (P1); and 50% bean sprouts’ waste and 50% commercial feed (P2). The result showed that different treatments had no effect on dry matter and crude protein consumption, TDN, and daily weight gain. In conclusion, bean sprouts’ waste can be used as rabbit feed substitution up to 50% without giving negative effect on its production performance.

Key words: beans sprouts waste, local rabbit, production performance


Potential Roselle Seed Meal for Growth and Immunity in Striped Catfish

ALLAMANDA CATHARICA. Potential Roselle Seed Meal for Growth and Immunity in Striped Catfish. Supervised by NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and SRI NURYATI.

The main constraint on aquaculture is the availability of the raw material feed and disease attack. Therefore, the availability of high-quality feed that is not only able to increase fish growth but also capable of increasing absolute fish immunity must exist. Roselle seeds, with relatively vitamins especially tocopherol has a potential as an alternative ingredient. This study was conducted to determine the effect of dietary level of roselle seeds meal on growth performance, immune responses and resistance of striped catfish to Aeromonas hydrophila challenge.

In the first experiment, five diets were formulated to contain 0 (control), 2, 4, 6 and 8% roselle seeds meal per 100 g diets. Thirty five fishes with 1.33-1.51 g initial body weights were cultured in 15 aquarium with 60x30x35 cm dimention for 40 days. Fish were fed on these diets two times a day until apparent satiation. Feed consumption, lipid and protein retention increased with increasing doses of roselle seed meal (p<0 .05="" and="" catfish="" differences="" efficiency="" feed="" found="" growth="" i="" immune="" in="" measurement="" no="" of="" on="" rate="" resistance="" responses="" results="" significant="" striped="" study.="" survival="" the="" this="" to="" were="">Aeromonas hydrophila
challenge, it was found that there was no significant difference between treatments (p<0 .05="" 4="" applied.="" based="" because="" best="" c="" can="" diets="" dose="" experiment="" experimental="" for="" highest="" is="" it="" meal="" o:p="" of="" on="" overall="" protein="" provide="" results="" retention="" roselle="" second="" seed="" showed="" so="" study="" that="" the="" then="" this="" treatment="" was="">
The second experiment, thirty five fishes with 1.33-1.51 g initial body weights were cultured in 18 aquarium with 60x30x35 cm dimention for 30 days. Fish were fed on these diets two times a day until apparent satiation. Fish were assigned randomly to six feeding regimes, namely, a control (positive and negative control), fed continuously with commercial diets for 20 days. Treatment of A, fed continuously with experimental diets for 20 days. Treatment of B, fed with commercial diets on the first five days, then fed with experimental diets day 6 to day 15 and the commercial diets on the last five days. Treatment of C, fed with experimental diets on the first five days, commercial diets on the second five days, experimental diets on the third five days and commercial diets on the last five days. Treatment of D, namely the provision of commercial diets in the first ten days and the experimental diets in the last ten days. All treatments at day 21 challenged with Aeromonas hydrophila, except in the negative control.

The results showed no significant differences on feed intake (p<0 .05="" and="" between="" different="" efficiency="" feed="" growth="" i="" meanwhile="" not="" performance="" rate="" significantly="" survival="" treatments="" was="">p
<0 .05="" 15="" 6="" after="" and="" b="" based="" best="" between="" beyond="" challenge="" commercial="" control="" day="" days.="" days="" diets="" differences="" experimental="" fed="" first="" five="" found="" highest="" i="" immune="" is="" last="" namely="" of="" on="" rate="" responses="" results="" showed="" significant="" survival="" test="" the="" then="" to="" treatment="" treatments="" with="">Aeromonas hydrophila after injection the average of 62.1% (p<0 .05="" 15="" 4="" 6="" a="" and="" based="" best="" commercial="" conducted="" day="" days="" diets.="" diets="" dose="" experimental="" feeding="" first="" five="" found="" frequency="" is="" last="" meal="" o:p="" of="" on="" overall="" results="" roselle="" seed="" study="" that="" the="" to="" with="">

Keywords: growth performance, immunity, roselle seed meal, striped catfish


reference of Additional Feed Vegetables Waste on Timor Deer (Rusa timorensis) in Captivity and Its Effects on Eat Behaviour

RIRIN RIHATNI. Preference of Additional Feed Vegetables Waste on Timor Deer (Rusa timorensis) in Captivity and Its Effects on Eat Behaviour. Under supervision of ACHMAD MACHMUD THOHARI and YANTO SANTOSA.

Feed is the most important factors to determine the success of a captivity. Additional for age can be provided to deer to solve the limitation of grass availability as the primary feed for timor deer. Additional vegetables waste have advantage because the price is relatively cheap. Considering the problem, this research was conducted in the aim to identify kind of vegetable waste which is most preferred by the timor deer and any typical behavior which is possible showed by deer possibility as a negative impact of additional vegetables waste as feed.

Research was held in captivity deer of Dramaga Research Forest in June until July 2012. Four individual timor deers (2 adult males and 2 adult females) were observed and four type of feed (mixed grass, corn skin, cabbage waste and chicory waste) were provided as additional for ages. There were two observation techniques used, they were supplementary feed preference and eating behavior. In feed preference, three types of vegetable waste and mixed grass as primary feed were given simultanously to deer . Two kilograms of each feed type were given daily to each. While in eat behavior, for age were given based on treatment. Every treatment consisting of 3 kg mixed grass and 3 kg vegetable for each pair deer.

The data of feed preference were analysed by Index Nue. The result showed that skin of corn was preferred by both male and female deer with w value sequently 1,32 and 1,36. Afterward, vegetable waste feed affected eating behavior of the timor deer. The period of eating relatively shorter on the type of supplementary feed which was most preferred by both male and female timor deer, and longer on the type of supplementary feed which was not preferred. Chi-Square test showed that there was a significant difference, it showed the value of count χ² (161,387) was larger than the value of table χ² (7,378). Moreover, typical behavior as a negative affect from leftover cabbage as supplementary feed was found. It happened to male timor deer which fell asleep and drooling while sleeping. This was because cabbage contained a gas that could increase the gas in the stomach, so the timor deer's energy focused on the digestive system and caused male timor deer asleep.

Key word : Timor deer (Rusa timorensis), captivity, feed, vegetable waste, eat behavior.


Profile of Dairy Cattle Erythrocytes which Chronical Infected by Babesia sp

HERU WIRZAL KESATRIA. Profile of Dairy Cattle Erythrocytes which Chronical Infected by Babesia sp. Supervised by AGUS WIJAYA and LENI MAYLINA.

Babesiosis is an endoparasite disease which is infected by Babesia sp. This genus parasite is classified as an intracellular obligate parasite. Babesia sp. can cause the disease which clinical symptoms such as anemia, fatigue, and weakness in animal. This research aim is to obtain the profile erythrocytes of dairy cattle which is chronically infected by Babesia sp. Information obtained can be used as a basis for performing a treatment action and prevention of Babesiosis on dairy cattle. Blood sample was taken at Kunak dairy cattle Cibungbulang, Bogor, West Java. Blood samples were collected from the coccygea vein or jugularis veins. Twenty one dairy cattles used in this research where divided into 2 groups, namely 6 tails as a control while 15 tails were chronical by infected Babesia sp. The result showed that the average number of erythrocytes (5.17 ± 0.97 x106/μL), the concentration of hemoglobin (9.39 ± 1.58 g/dL) and level of hematocrit (28.07 ± 4.67 %). Based on erythrocytes index dairy cattles that suffer from Babesiosis showed the decreasing of erythrocytes, concentration of hemoglobin and hematocrit values where leads to anemia normocytic normochromic.

Keywords: Babesia sp., erythrocyte profile, dairy cattle.


Diversity of Flies Species in Layer Poultry Farm

IRENE SOTERIANI UREN. Diversity of Flies Species in Layer Poultry Farm. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO.

Flies are common parasites that easily can be found in layer poultry farm. The aim of this research was to analyze the diversity of species, the relative abundance, and the dominance of flies in layer poultry farm. The samples were collected from Peternakan Ayam Petelur KM 45, Kemang, Bogor, by using the sweeping net. The collected samples were identified and analyzed to determine the density of flies. Fly density expressed with relative abundance and species domination. The result showed there were 4 species of flies found in layer poultry farm. They were Musca domestica, Chrysomya megacephala, Chrysomya saffranea, and Hermetia illucens. M. domestica were the most dominant species. Species domination in sequences were M. domestica (42.13%), C. Megacephala (33.71%), H. illucens (18.26%), and C. saffranea (5.90%). The last three species were commonly found along with M. domestica.

Keywords: diversity, flies, layer poultry farm, species domination


Physiological Response and Blood Profile of Garut Rams with Feed and Different Feeding Time Management

BIMA SAPUTRA. Physiological Response and Blood Profile of Garut Rams with Feed and Different Feeding Time Management. Supervised by SRI RAHAYU and DEWI APRI ASTUTI.

Feed and feeding time management can influence change physiological respon of sheep. This research aimed to evaluate phsyiological response and blood profile of garut rams with mung bean sprout waste as subtitution of grass and different feeding time management. This research used 16 garut rams (I0) with 2 factors and 4 replicates. The first factor was different feed persentage consist of R1 (consentrate 60% + grass 40%) and R2 (concentrate 40% + mung bean sprout waste 40%). The second factor is different feeding consist of P (morning feeding time) and S (afternoon feeding time). Pshyiological response that were observed are respiration, heart rate, and rectal temperature. Blood profile that were observed are haemoglobin, hematocrit (PCV/Packed Cell Volume), eritrosit, leucocyte, and leukocyte differentiation. Data processed with ANOVA and Duncan analysis. The result showed that mung bean sprout makes significant effect (P<0 .01="" affecting="" afternoon.="" and="" bean="" blood="" but="" cell="" change="" different="" eosinophils="" feed="" feeding="" garut="" given="" grass.="" heartbeat="" hematology="" higher="" in="" influence="" lower="" makes="" management="" morning="" mung="" not="" o:p="" of="" on="" physiological="" profile="" rams="" rate="" red="" respon="" sheep.="" sheep="" sprout="" than="" the="" time="" treatment="" value="" was="" waste="" were="" with="">
Key words: Blood profile, feed, feeding, garut rams, physiological response.


Physical Characteristic and Palatability of Rabbit Meatball at Different Postmortem Time

Physical Characteristic and Palatability of Rabbit Meatball at Different Postmortem Time
Hikmah, N., Komariah, and M. Duldjaman

Bakso is a finely comminuted boiled Indonesian meat product that is traditionally made of starch, salt and emulsified prerigor or early postmortem meat. Rabbit meatball is one alternative to improve meat rabbit consumption. Rabbit is an animal which have a great potential to be breeded as meat source. There are many advantages we could gain by consuming rabbit meat, i.e. 20,1% of protein and low cholesterol level of 53 mg/100g or 0.1%, so it can be promoted as healthy meat. The physical characteristic of rabbit meatball became important to be analyzed, by it`s the quality, because it`s reason why people would like the rabbit meatball. This research was conducted at Large Ruminant Laboratory, Department of Animal Science and Production, Faculty of Animal Science and Centre of Food and Nutrition (CFN), Bogor Agricultural University. Research has been done from December until March 2010. Materials that use in this research were rabbit from Darruljannah, Cibatok. Flavor adding with tapioca starch as an extender, salt, ice, and other flavor. The parameter stands for pH and DMA meat, elasticity and rendement. Organoleptic test stands for texture, smell, elasticity, colour, taste, and general perception. The research were using three, six, and nine hours postmortem and grouped based on it`s day, which is 1, 2, and 3 day. The research was used the Randomized Block Design. Organoleptic were analyzed using Kruskal-Wallis. The average of pH, water holding capacity, elasticity and cooking loss meatball on the study 6,16, 9,89 %, 38,04 % and 131,70 %. The result indicate that postmortem up to nine hours was not influenced significantly of physical characteristics and organoleptic rabbit meatball.
Keyword : Physical characteristic, Rabbit, Meatball, Postmortem


Full Article(Click Here)

Physical Characteristics and Organoleptic of Lamb b!teatball in different Postmortem and Cassava Starch Levels

Physical Characteristics and Organoleptic of Lamb b!teatball in different Postmortem and Cassava Starch Levels
Nurhayati, E., Komariah, and S. Rahayu

Meatball is one of Indonesian people favourite meat product. Lamb meatball is one alternative to improve lamb consumption. Making of meatball use to usingpre-rigor meat that is could produce tough and compact. Material for producing meatball commonly from beef but it can replace by lamb by using extender. 'The extender was cassava flour. Purpose of research was to know the physical characteristics and organoleptic of lamb meatball in different postinortern and cassava starch levels. The research was carried out at Large Ruminant Laboratory, Animal Science Faculty, Bogor Agricultural University and Center of Food and Nutrition (PAU) Bogor Agricultural University. Research has been done from February until iMarch 2009. Matters that use in this research were lamb fi-om MT Farm, Ciampea. Flavor adding with cassava flour as an extender, salt, ice, and other flavor. The parameter stands for pH and DMA meat, elasticity, hardness, rendement, and economical aspect. Organoleptic test stands for texture, smell, elasticity, colour, taste, and general perception. The research were using two hours, four hours, and six lrourspostmortem with lo%, 20%, and 30% tapioca levels. Factorial Completely Randomized Design 3x3 was used with three repetitions. The significant result was tested with Polynomial Ortogonal. Organoleptic were analyzed using Kruskal Wallis. Significant  result was tested with Gibbons The result indicate that postnrortem up to six hours and 30% tapioca level was not influenced significantly of physical characteristics and organoleptic lamb meatball. Meatball with up to 30% tapioca levels more advantages in economical aspect, because production cost that used it cheaper an grain meatball total result more.
Keywords : meatball, lamb, postnzortem, tapioca


Sorghum as Substitute of Cornwith Addition Fern Water PlantMeal (Azolla pinnata) on Quail Diet toMDA and Quality of Quail Eggs

FEBRINITA ULFAH. Sorghum as Substitute of Cornwith Addition Fern Water PlantMeal (Azolla pinnata) on Quail Diet toMDA and Quality of Quail Eggs. Supervised by RITA MUTIA dan WIDYA HERMANA.

This research aimed to study the effect of sorghum on laying quail with addition of fern water (Azolla pinnata) meal on the quality of Japanese Quail Egg and values of MDA. The experiment used 30 laying quails aged 44 days. This observations used descriptive Analysis by comparing between treatments. The treatments were control diet of corn (P0), treatment diet of sorghum (P1),treatment diet of sorghum + 1% Azolla pinnata meal (P2), treatment diet of sorghum + 2% Azolla pinnata meal (P3), and treatment diet of sorghum + 3% Azolla pinnata meal (P4). This research obtained about performace, egg weight, yolk weight, albumin weight, shell weight, shell thickness, yolk colour, Haugh Unit (HU) and values MDA (Malondialdehyde) on yolk egg. The result of this experiment showed that addition ofAzolla meal to sorghum proven to balance the carotenoid content indicated in the yolk score, not interfere with performance of quail, and antioxidant activity produced by Azollameal (beta-caroten).

Keyword : Azolla pinnata, egg quality, MDA (Malondialdehyde), sorghum


Study on Protection to Infectious Bronchitis Virus Provide by ND-IB Lived Vaccine on Broiler

FITRI LUTHFIANTI NUR ANNISAA. Study on Protection to Infectious Bronchitis Virus Provide by ND-IB Lived Vaccine on Broiler. Supervised by SRI MURTINI and RETNO DAMAJANTI SOEJOEDONO.

Objective of the study is to measure the antibody titer, clinical sign, and post mortal lesion of broilers vaccinated with Newcastle Disease-Infectious Bronchitis (ND-IB) live vaccine (LaSota H-120) and challenge with Infectious Bronchitis virus (IBV) field isolates. As much as 100 DOCs were use in this study. The maternal antibody derivates were taken from 20 broilers on the 1st day of experiment. The rest of the broilers divided into 4 groups (K1, K2, K3, and K4). Each group consisted 20 broilers. Group K1 and K2 were unvaccinated. Group K3 and K4 were vaccinated on the 2nd day according to the manufacturer procedure. Blood samples from unvaccinated and vaccinated group were taken on 7th, 14th, and 22nd day. Antibody titer was measured by using enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Challenge was carried out on 14th day (12th day post vaccination) to group K2 and K4. The result showed that chickens have high maternal antibody titer. The combination of intranasal and oral vaccination was not able to produced protective antibody against IB. Vaccination was able to reduced lethargy sign and cloudy airsacs. The clinical signs and post mortal lesions were more severe on K2 group than K4 group.


Keywords: broiler, ELISA, Infectious Bronchitis, LaSota H-120, vaccine

Studi Pengembangan Bahan Pengawet Bakso Berbasis Asam dan atau Garam Asetat

Preservative is one of food additives that serve to prolong shelf life of food products, especially for perishable foods. One of preservatives has been use widely is acetic acid. Besides acetic acid, this study also used acetate salt as meatball preservatives. Meatball is a perishable food. It only has less than 24 hours shelf life in room storage condition. This study aims to extend meatball shelf life at least 3 days at room storage. The initial stage of this study is to determine type of preservatives that can prolong meatball’s shelf life. As the result, solution of acetic acid and garlic (Allium sativum L.) can extend meatball shelf life for 3 days. The preservatives solution made by combined acetic acid (25%) and sliced, mashed, and blended garlic with ratio 70:30. Acetic salt can not extend the meatball’s shelf life. The second stage is to determine the optimum concentration and to analyze the pH value, titratable acidity, texture and total microbes of preserved meatball. The preservatives solution is applied in two methods, coat and boil the meatball with the solution. Based on hedonic test, the best method of preservation is coating meatball with preservatives solution made by acetic acid with blended garlic.


keywords : meatball, acetic acid, preservative

Behaviour of Broiler Chickens in Closed House under Different Room Temperatures and Light Colours

Behaviour of Broiler Chickens in Closed House under Different Room Temperatures and Light Colours
 Andisuro, R., R. Afnan, and H.S. Iman Rahayu

Broiler chicken industry as a main meat producer has a huge potency to fulfil the quality and quantity of protein requirement for the human. A good management aspect such as house temperature and light regulation plays an important role in raising broiler. High ambient temperature in Indonesia with its large fluctuation becomes constraint in raising broiler. Light regime includes intensity, duration and colour is still limited applied by the broiler farmer as they apply opened house. Raising broiler in closed house gives an opportunity to regulate temperature and lightinside the house. Temperature and light stimulate the broiler behaviours that affect broiler performances. This experiment aimed to study the effect of temperature and light regulation on broiler behaviours. It was designed with a 2x2 factorial complete randomized with different house temperatures and lights. House temperatures were adjusted to 23 oC (normal) and 30 oC (heat stress) whereas light was set to red and white. Data collection was done in 4 times of ages within 6 days interval (15, 21, 27 and 33 days). The variant of data was analyzed (ANOVA) and computed with suitable mathematical model observed. That watched behaviour were eating, drinking, locomoting, panting and resting. The housing temperature significantly affected panting (age of 15, 21 and 27 days) and drinking behaviour (age 21 days) as well as locomotive behaviour (age of 21 days). Light colours and their interaction with housing temperature did not significantly affect the behaviours of broilers (P > 0,05). Presumably, the light intensity did not adequate to influence behaviours of broiler chickens.

Keywords: Behaviours, Broiler Chicken, Temperature and Light Colour.


Broiler Laying Behavior Maintained Layer Phase in free-range systems at dry season

BUDIMAN TANDIABANG. Broiler Laying Behavior Maintained Layer Phase in free-range systems at dry season . Under the guidance of Prof. Dr. Ir . Hj . Sahari Banong M.S , and Dr. Ir . Wempie Pakiding , M. Sc.

The aim of this study was to observed the behavior patterns of laying chicken during the summer . In this study used 24 laying hens strain Lohman Brown age 52 weeks ( phase layer ) were maintained in rotational and continuous , each paddock placed 4 hen, so the amount of chicken for each maintenance system is 12 hen for 3 paddock . This study was analyzed by t- test using Excel program and qualitative data were analyzed descriptively . Parameters observed among others ; foraging, resting, walking, drinking, feeding, nesting, scratching, dust bathing. The results showed that the average grazing activities performed in the mornig and afternoon breaks and activities , drinking ,dust bathing, and scratching did during the day, while walking and feeding activities conducted evenly throughout the day and only done nesting activity ranging from 06.00 up to 10.00 am. The conclusion of this study was conduct grazing , resting , feeding and nesting behavior is a dominant aspect of chickens reared on free-range system with the distribution of daily behavior patterns show relatively similar between continuous and rotational treatments.

Keywords : Free Range , Lohmann Brown , Continuous , Rotational , Behavior


The Physical Characteristic of Market Vegetable Waste Wafer and that Palatability for Sheep Livestock

The Physical Characteristic of Market Vegetable Waste Wafer and that Palatability for Sheep Livestock
F. P. Syananta, Y. Retnani, L. Herawati

Vegetable waste is part of vegetables or vegetables that are discarded. The weakness of this vegetable market waste, among others, is perishable, voluminous (bulky) and the availability was fluctuated so the processing technology is needed to make this vegetable waste to be durable, easy to stored and to be given to dorbia. To solve this problem vegetable waste could be formed as wafer. The objective of this experiment was to determine the physical characteristic and palatability of vegetable market waste after formed as a wafer. The experimental design used in this research was Completely Randomized Design with 5 treatments and 4 replications. The treatments were : R1: maize straw 100%; R2: maize straw 75% + mungbeans sprout waste 25%; R3: maize straw 50% + mungbeans sprout waste 25% + cauliflowers 25%; R4: maize straw 25% + mungbeans sprout waste 50% + cauliflowers 25%; R5: maize straw 25% + mungbeans sprout waste 25% + cauliflowers 50%. Wafer’s variables measured were water activity, water absorption, density and palatability. The results of this research indicated that the treatment of wafer made from vegetable waste gave significant effect to the water activity (P<0 .08="" a="" absorption.="" absorption="" activity="" and="" based="" characteristic="" compare="" density.="" effect="" experimental="" for="" from="" gave="" have="" highest="" highly="" lowest="" market="" most="" o:p="" of="" on="" other="" palatability="" palatable="" physical="" r1="" r3="" r4="" r5="" ration="" result="" sheep.="" significant="" the="" to="" treatments="" vegetable="" wafer="" was="" waste="" water="" were="">

Keywords : physical characteristic, wafer palatability, wafer and vegetable waste


x

Body Size and Shape of Arab Chicken, Kampong Chicken and Pelung Chicken Based on Principal Component Analysis

Body Size and Shape of Arab Chicken, Kampong Chicken and Pelung Chicken Based on Principal Component Analysis
Kurniawati, A., R. H. Mulyono and C. Sumantri

Differences of linier variable of body size was found between two observed chicken species based on T2-Hotteling statistical test (P<0 -0.31="" -0.59="" .01="" 0.41.="" 0.49="" 0.51="" 0.54="" 0.56="" 0.57="" 0.74.="" 0.77="" 0.92="" abroad="" analysis="" and="" arab="" are="" assumed="" body="" both="" broiler.="" broiler="" chicken.="" chicken="" coefficient="" comb="" component="" correlation="" derived="" differences="" different="" direction="" eigen="" elgium="" femur.="" femur="" from="" had="" height="" indicated="" indonesian="" is="" kampong="" large="" layer.="" length="" medium="" native="" o:p="" of="" origin="" originally="" pelung.="" pelung="" positive="" principal="" respectively.="" respectively="" result="" selected="" selection="" shape="" shows="" similar="" size.="" size="" that="" the="" this="" tibia="" to="" type="" value="" vector="" vectors="" was="" were="" which="" wing="" with="">

Key words: Arab chicken, Kampong chicken, Pelung chicken, T2-Hotteling, Principal Component Analysis, size, shape, correlation


Size, Shape and Prediction of Body Weight Garut Sheep, Thin-Tailed Sheep and Fat-Tailed Sheep

Size, Shape and Prediction of Body Weight Garut Sheep, Thin-Tailed Sheep and Fat-Tailed Sheep
Tirtosiwi, B. U., R. H. Mulyono and I. Inounu

Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep are breeds of sheep that have the potential to be bred in Indonesia. This research is carried out to measure the size and shape of sheep by using Principal Component Analysis (PCA) and to estimate the body of Garut sheep, Thin-tailed sheep and Fat-tailed sheep by using Principal Component Regression Analysis (PCRA). T2-Hotelling results showed that sheeps observed were significantly different between breeds. This is due to differences in groups of sheeps. Principal Component Analysis results showed that size of Garut sheep more higher than Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep. The differences of shape was indicates the differences genetics of sheep were observed. Slices of crowd chart of Garut sheep and Thin-Tailed sheep higher than Garut sheep and Fat-Tailed sheep. That was suitable with the origin of Garut sheep are cross by Merino sheep, Kaapstad sheep and Thin-Tailed sheep so that Garut sheep and Thin-Tailed sheep have more kindsip than Garut sheep and Fat-Tailed sheep. Principal Component Regression Analysis results showed that the primary identity for body measurements of Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep were chest girth (X9) and it was the most influential variable to predict body weight of Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep. That was showed by highest elasticity values of chest girth (X9), which each gained at 0,344; 0,420; 0.414 for rams of Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep and ewes at 0,446; 0,220; 0,739. Elasticity obtained showed that each increase in one cm in chest girth (X9) in rams of Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep will each increase body weight 190,96 g; 187,58 g; 163,37 g; while ewes will increase the body weight of 169,47 g; 75,56 g; 254,93 g. Beside chest girth (X9), rump width (X7) and cannon circumference (X10) has considerable effect on body weight of Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep. That was indicates increase of one cm rump width (X7) and cannon circumference (X10) rams of Garut sheep, Thin-Tailed sheep and Fat-Tailed sheep will increase body weight 486,65 g; 425,99 g; 457,98 g and 1.364,87 g; 1.137,01 g; 679,58 g; while ewes will increase body weight amounted to 680,61 g; 298,67 g; 690,05 g and 934,55 g; 116,59 g; 586,51 g.

Keywords: Sheep, T2-Hotelling, Principal Component Analysis, Principal Component Regression Analysis, Elasticity


Morphometric Measurement of Local Sheep with Different Growth Rate

Morphometric Measurement of Local Sheep with Different Growth Rate
Aji, I.B., M. Yamin., and C. Sumantri

Local sheep fattening agribussines has been recently more growing. One of significant problems in the business is selection of lambs to be raised. It is therefore study of local sheep’s morphometric measurement at different level of growth rate is important to conduct. Rapid selection is used to get different sheep growth in daily gain and physical appearances as the selection criteria. Sheep with daily gain above 150 gram/day/head are categorized as fast growing sheep and the daily gain under 70 gram/day/head as the slow growing group. The results show that chest circumference, body length, head length, upper neck circumference, body height, upper tail circumference, neck length, and chest depth were significantly higher at fast growing sheep than in slow growing group. similar results were found that circumference of foreleg and neck to thoracic limb either at left or right sides, and circumference of left pastern were significantly higher at fast growing sheep than slow growing group. This may indicate that the parameters can be used as selection criteria for fast growing sheep. In the other hand tail length, muzzle circumference, mid tail circumference, end tail circumference, circumference of right pastern, circumference of hind legs either at left or right sides were similar between fast growing sheep and slow growing sheeps, meaning that those six parameters might not be used as the selection criteria for fast growing sheep. Almost all parameters showed positive correlation between one and the other parameters especially with weight.

Key words: Sheep, fast growing, low growing


Individual Variation on the Success of Garut Ram Frozen Semen Production

MULYANI NOFRIZA. Individual Variation on the Success of Garut Ram Frozen Semen Production. Supervised by R IIS ARIFIANTINI and MUCHIDIN NOORDIN.

This research aims to study the individual variation on the successful Garut ram frozen semen production. The semen obtained from four sexuality mature Garut ram (Sinta, Wulung, Jabar, Batara), belong to Artificial Insemination Centre (AIC) at Lembang, Bandung. The semen was collected using artificial vagina and evaluated macro- and microscopically. The semen was diluted with andromed, equilibrate, packed into 0.25 mL mini straw, and freeze above liquid nitrogen vapor according to AIC standard procedures. The result of this experiment indicated there were differences in raw semen quality. Wulung demonstrated the highest raw semen motility (82.50%) and Batara has the lowest raw semen motility (75.50%). There were no differences in post thawing motility (PTM) in all rams. The PTM were between 40.00-41.67%. The recovery rate of sperms obtained from Batara ram was significantly higher than the others. This research concluded that there was an individual variation on the quality of Garut rams frozen semen.
Key words: frozen semen, freezing capability, Garut ram, recovery rate


Viability and Fertility of Spermatozoa in Modified BTS and Zorlesco Extender Stored in Different Places for Swine Artificial Insemination Program

NI LUH GDE SUMARDANI. Viability and Fertility of Spermatozoa in Modified BTS and Zorlesco Extender Stored in Different Places for Swine Artificial Insemination Program. Under the direction of TUTY L. YUSUF and POLLUNG H. SIAGIAN.

The optimal storage temperature for preserve boar semen is 17 - 18 °C. The temperature fluctuations can decrease sperm viability. The aim of this study was to obtain a boar semen extender for Artificial Insemination (AI) at certain distance area. The observation on viability and fertility of spermatozoa in Modified Beltsville Thawing Solution (M-BTS) and Zorlesco (M-Zorlesco) extender in different storage, and the effect of storage system i.e : room temperature, refrigerator, and styrofoam box were conducted for this purpose. Semen from three years old Yorkshire boar (n = 3) were collected twice a week by hand method. Semen characteristics and their quality were evaluated macro and microscopically. These semen were added with M-BTS and M-Zorlesco extender up to fourfold volume (ratio 1 : 3). This is base on the assumption of AI dose of 2 - 3 x 109cells/80mL. All samples were divided into three tube and stored at room temperature (22 °C), styrofoam box (18 °C) and refrigerator (15 °C), and their motility and viability were evaluated every six hours for 42 hours observation.

The results showed that fresh semen characteristics were good, with sperm motility of 65.56 ± 3.91% and viability of 87.70 ± 6.34 %. The best extender found in this experiment of 42 hours observation was M-Zorlesco extender with average sperm motility of 54.76 ± 12.76% in styrofoam box and 54.17 ± 12.60% in refrigerator. On the other hand, their average of sperm motility in BTS (control) of 49.37 ± 17.37% in styrofoam box and 50.19 ± 17.36 % in refrigerator were slightly lower than that of the former one, but statistically it is not significant. The semen diluted in M-Zorlesco extender stored for 42 hours in styrofoam box that showed the best result. This show that quality of boar’s sepermatozoa can be maintained at 15 - 18 oC. Conception rate with semen diluted in M-Zorlesco and M-BTS extenders were high (83.33%).

In conclusion, M-Zorlesco extender can maintain the quality of spermatozoa stored in styrofoam box and refrigerator for about 42 hours with sperm motility 40 - 50%, and the styrofoam box can be used as an alternatif container for insemination program in the field.
Keywords: Viability, fertility, extender, storage, boar sperm


Back To Top