Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Pencernaan Pada Ternak Ruminansia

Ternak ruminansia berbeda dengan ternak mamalia lainnya karena mempunyai lambung sejati, yaitu abomasum, dan lambung muka yang membesar, yang mempunyai tiga ruangan yaitu rumen, retikulum dan omasum (Tillman dkk., 1989). Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam alat pencernaan, proses pencernaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu pencernaan mekanik yang terjadi di dalam mulut, pencernaan hidrolitik dan pencernaan fermentatif di dalam rumen (Sutardi, 1980).

Pencernaan fermentatif merupakan perubahan senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dengan molekul zat makanan asalnya. Dengan kata lain, pencernaan fermentatif ini adalah pencernaan lebih lanjut dimana zat-zat monomer-monomer dari hasil pencernaan hidrolitik segera dikatabolisasikan lebih lanjut, misalnya protein difermentasi menjadi amonia, karbohidrat menjadi asam lemak terbang atau Volatile Fatty Acid (VFA) (Church, 1979).

Sutardi (1980) menyatakan bahwa keuntungan ruminansia mempunyai organ pencernaan fermentatif sebelum usus halus adalah dapat mencerna bahan makanan berkadar serat tinggi sehingga bahan makanannya sebagian besar tidak bersaing dengan manusia, mampu mengubah jenis nitrogen (N) termasuk Non Protein Nitrogen (NPN) seperti urea menjadi protein bermutu tinggi, kebutuhannya akan asam amino untuk nutrisi proteinnya tidak bergantung pada kualitas protein makanannya, produk fermentatif dalam rumen dapat disajikan kepada usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna dan kapasitas rumen yang sangat besar, mampu menampung banyak makanan.

Hasil pencernaan karbohidrat pada ternak ruminansia di dalam retikulo rumen adalah asam lemak mudah terbang (VFA = volatile fatty acid), terutama asam asetat, propionat, dan butirat yang akan diserap sebelum mencapai usus. Volatile fatty acid kemudian akan diabsorbsi masuk peredaran darah menuju hati, dan di dalam hati VFA akan diubah menjadi glukosa, maupun hasil-hasil lain yang dibutuhkan oleh tubuh (Tillman dkk, 1991).

Karbohidrat dalam material hijauan, seperti selulosa dari serat kasar, pati dari biji-bijian atau gula dari molasses, semuanya difermentasi menjadi VFA dalam rumen, menjadi komponen yang larut seperti protein. Energi yang dilepaskan dalam proses fermentasi digunakan oleh mikroba untuk kepentingan tubuhnya. VFA adalah zat-zat gizi utama produk fermentasi sebagai sumber energi utama untuk kebutuhan induk semang (Rahardja, 2008).

Proses pencernaan karbohidrat pada ruminansia yang terjadi di dalam retikulo rumen oleh mikrooraganisme selanjutnya disebut fermentasi karbohidrat. Di dalam retikulo rumen tersebut, baik fraksi yang mudah tersedia (pati, dextrin, dan pektin) maupun fraksi serat (selulosa, hemiselosa) akan mengalami perombakan menjadi produk yang dapat diabsorbsi dan dicerna di dalam usus halus (Rahardja, 2008).

Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald dkk., 2002).

Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3, sehingga pada saat terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia (Sutardi, 1977).

Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami tiga tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan mikroba rumen. Pada tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentose (Baldwin dan Allison, 1983). Pemecahan karbohidrat dalam rumen terjadi melalui dua tahap, yaitu : pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana, dan memecah gula sederhana menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2 dan CH4 (McDonald dkk., 2002).

Selanjutnya glukosa akan difermentasi menjadi VFA, terutama asetat, propionate dan butirat, iso-butirat, iso-valerat, valerat dan gas CH4 serta CO2 (Sutardi, 1977). Glukosa diubah menjadi asam piruvat kemudian difermentasi menjadi VFA, gas CO2 dan metan (CH4) (Ranjhan, 1977). VFA yang terserap selain dipakai sebagai sumber energi, juga dipakai sebagai bahan pembentuk glikogen di hati, lemak, karbohidrat dan hasil-hasil yang dibutuhkan ternak. Sebagian kecil asam asetat, asam propionat dan sebagian besar asam butirat termetabolisme melalui dinding rumen. VFA yang melalui usus halus juga diserap (Anggorodi, 1994).

Glukosa merupakan hasil akhir dan utama dari pencernaan karbohidrat yang beredar bersama darah (Anggorodi, 1995). Glukosa pada ruminansia selain sebagai sumber energi juga penting dalam pemeliharaan sel-sel tubuh terutama darah dan otot (Parakkasi, 1999).

Menurut Preston dan Leng (1987), bakteri penting yang termasuk pencerna serat kasar adalah Ruminococcus flavefaciens, Ruminococcus albus dan Butyrivibrio fibrisolvens. Bakteri tersebut mempunyai enzim yang mampu menghancurkan karbohidrat kompleks menjadi selobiosa, glukosa dan VFA. Sedangkan yang termasuk bakteri pencerna pati antara lain Streptococcus bovis, Bacteroides amylophilus, Prevotella ruminicola dan Lactobacillus. Bakteri tersebut aktif jika ransum banyak mengandung konsentrat. Arora (1989) menyebutkan bahwa bakteri proteolitik yang dapat diidentifikasikan di dalam rumen adalah Bacteroides amylophilus, Provotella ruminicola, Butyrivibrio spp, dan Selenomonas ruminantium. Keberadaan enzim proteolitik asal mikroba rumen menyebabkan terjadinya aktivitas hidrolisis protein pakan, dimana kecepatannya sangat ditentukan oleh tingkat kelarutan protein (Satter dan Roffler,1977).


Daftar Pustaka


Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta.
Anggorodi, R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan VI. PT Gramedia, Jakarta.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Church, D. C. 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant. Second printing. Metropolitan Printing Co. Oregon.
McDonald, P. R. A. Edwards, and J. F. D. Greenhalge dan C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Longman Sci. and Technical. New York.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan MakananTernak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resource in the Tropic. Penambul Books. Armidale.
Rahardja, D.P., 2008. Strategi Pemberian Pakan Berkualitas Rendah (Jerami Padi) Untuk Produksi Ternak Ruminansia. Dinas Peternakan Makassar.
Ranjhan, S. K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. Vikas Publishing House PVT Ltd., New Delhi. p : 16 – 89.
Satter, L. D. and R. E. Roffler. 1977. Protein Requirement and Non Protein NitrogenUtilization. Tropical Animal Production. 2 : 238 – 269.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tillman, A.D, H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Labels: fisiologi ternak, Pencernaan, Ruminansia

Thanks for reading Pencernaan Pada Ternak Ruminansia. Please share...!

0 Comment for "Pencernaan Pada Ternak Ruminansia"

Back To Top